Karya: Nabila Shylvie Inkaputri
Beberapa waktu belakangan ini, selain permasalahan politik –
yang semakin bersinar bak selebritis pendatang baru. Permasalahan mengenai overthinking
dan insecure semakin menguasai dunia kehidupan masyarakat, khususnya
para remaja bahkan dewasa muda (termasuk saya juga). Ingin buktinya? Cobalah
bertanya kepada teman kalian atau bahkan diri kalian sendiri, apa hal yang
paling memuakkan namun tidak bisa dienyahkan dalam diri? Jika jawabannya adalah
dua kata yang saya beri font italic dan bold tadi, maka saya tidak perlu
memberikan bukti-bukti lainnya.
Meminjam makna dari sebuah situs dan web yang sering saya gunakan untuk menjawab kuis perkuliahan, overthinking adalah istilah untuk perilaku memikirkan segala sesuatu secara berlebihan. Hal tersebut bisa juga dipicu oleh adanya kekhawatiran akan suatu hal, mulai dari masalah sepele seperti, kehidupan sehari-hari hingga masalah rumit seperti trauma di masa lalu yang membuat seseorang sulit untuk berhenti. Sedangkan rekan baik dari overthinking yaitu insecure. Insecure adalah perasaan cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri yang membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Sejujurnya, baik overthinking maupun insecure adalah hal yang sangat lumrah terjadi pada diri setiap manusia. Sayangnya, jika terlalu sering terjadi maka hal tersebut sangat memuakkan. Setidaknya bagi saya, overthinking dan insecure bak anak ayam yang selalu mengikuti induknya – nah, sebut saja saya sebagai induknya. Saya selalu merasa tidak yakin dengan segala sesuatu yang telah saya lakukan, merasa sulit untuk mempercayai orang lain hingga membatasi ruang gerak kehidupan sehari-hari. Sebab ketika saya overthinking, saya menghindari semua orang dan ketika insecure ikut menyapa, saya memilih untuk menghilang. Bahkan sampai bersembunyi dari tanggung jawab yang seharusnya saya lakukan.
Hingga pada suatu hari yang cukup mendung dan isi kepala saya sedang menyenangkan, saya iseng membuat sebuah peta pemikiran menurut saya pribadi. Tujuannya ingin tahu sebenarnya apa sih yang membuat diri ini selalu merasa rendah diri dan berpikiran yang berlebihan. Setelah corat-coret tidak jelas selama berjam-jam, saya berhasil membuat kesimpulan yang cukup mewakili namun menyakitkan.
Ternyata penyebab ‘dua anak ayam’ itu mengikuti saya itu ya diri saya sendiri.
Penjelasannya begini, saya merasa overthinking dengan segala sesuatu yang saya lakukan, entah itu membuat sebuah karya, menjalankan kewajiban, atau bahkan hal sederhana yakni membalas chat dan berbicara dengan orang lain. Itu disebabkan karena saya selalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan mengenai saya. Saya selalu berpikir “Apakah saya terlalu antusias? Apakah saya terlalu agresif? Apakah saya terlalu sok tahu?’ dan lain sebagainya. Padahal orang lain belum tentu peduli atau bahkan mengingat apa yang saya lakukan sebelumnya.
Nah, kalau insecure sih sudah jelas. Terlalu banyak melihat sosial media yang fana adalah kunci utama. Melihat teman yang aktif di segala kegiatan, berprestasi di banyak bidang, memiliki relasi luas, langsung membuat saya merasa diri ini tidak ada gunanya hahaha. Padahal kalau mindset otak ini agak diperbaiki, sebenarnya saya bisa tapi ya itu tadi, karena terlalu banyak memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Akhirnya saya jadi mengurungkan niat untuk melakukannnya.
See? Sudah mutlak memang yang membuat rumit memang diri sendiri ya.
Walaupun tidak dapat dipungkiri memang untuk menyingkirkan mereka bukanlah usaha yang mudah, terutama jika memiliki beberapa luka lama yang menimbulkan trauma. Tidak mudah untuk menganggapnya hilang begitu saja seakan tidak pernah terjadi. Tapi, ada satu kutipan dari sebuah buku yang pernah seseorang ceritakan ke saya yaitu buku dengan judul Berani Tidak Disukai (The Courage to be Dislike) karya Ichiro Kishimi & Fumitake Koga yang saat ini menjadi landasan saya ingin bangkit dan memperbaiki hidup saya yang terlalu banyak “keterbatasan akibat isi kepala dan masa lalu”, yaitu “Kita manusia bukanlah makhluk yang begitu ringkih sampai harus tunduk di bawah belas kasihan trauma” dan “… kita memilih kehidupan dan gaya hidup kita sendiri. Kita punya kekuatan untuk melakukannya.”
Jadi, bagi kalian yang mungkin saja mengalami hal serupa seperti saya, mungkin bisa mencoba teknik iseng yang saya gunakan tadi. Ambil sehelai kertas kosong dan sebuah bulpoin kesayangan kalian, dan selamat menorehkan seluruh isi kepala kalian di dalam kertas itu.
Berubah menjadi tidak terlalu peduli terhadap segala sesuatu dan lebih percaya diri memang tidak mudah, tidak semudah merebus mi instan apalagi semudah membalikkan telapak tangan, namun setidaknya saya dan kalian pasti bisa melakukannya. Jika masih merasa kesulitan menanganinya sendiri, jangan ragu untuk terbuka meminta saran kepada teman terdekat, pacar, atau mungkin gebetan dan doi. Akan tetapi alangkah sangat baik jika meminta bantuan kepada pihak yang profesional seperti psikolog.
Ingat, emosi dan isi kepala kita itu valid!!!
Dan kalian harus ingat, bahwa masalah yang ada pada kalian
itu disebabkan oleh diri kalian sendiri.
Selasa, 4 April 2023
Nabila Shylvie Inkaputri

Komentar
Posting Komentar