Senja di Ujung Mata
By: Aulia Innisa Yumna
Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang gadis bernama Sinta. Setiap sore, Sinta memiliki kebiasaan duduk di bukit kecil di belakang rumahnya untuk menyaksikan matahari terbenam. Bukit itu adalah tempat favoritnya, di mana ia bisa merasakan angin sepoi-sepoi dan mendengarkan nyanyian alam yang menenangkan hatinya. Bagi Sinta, senja adalah waktu yang paling indah dan penuh makna.
Sinta tinggal bersama neneknya, Nenek Aisyah, yang sudah mulai menua dan lemah. Nenek Aisyah sering bercerita tentang masa mudanya, tentang cinta pertama, tentang kehilangan, dan tentang kekuatan untuk terus melangkah. Sinta selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, meresapi setiap kata yang keluar dari bibir neneknya.
Suatu hari, saat senja mulai merayap di langit, Sinta mengajak neneknya untuk duduk di bukit bersamanya. Mereka duduk berdampingan, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala.
"Nek, kenapa senja selalu terasa begitu indah?" tanya Sinta sambil memegang tangan neneknya yang keriput.
Nenek Aisyah tersenyum lembut dan berkata, "Senja adalah pengingat, Nak. Pengingat bahwa segala sesuatu yang indah pun harus berakhir, tetapi selalu ada harapan untuk esok hari yang baru. Senja mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen, karena waktu tidak akan pernah kembali."
Sinta terdiam, merenungkan kata-kata neneknya. Senja itu terasa lebih indah dari biasanya, mungkin karena ia merasakannya dengan sepenuh hati. Namun, di balik keindahan senja, Sinta juga melihat keletihan di mata neneknya. Ia tahu bahwa waktu neneknya mungkin tidak akan lama lagi.
Hari demi hari berlalu, dan kesehatan Nenek Aisyah semakin menurun. Hingga suatu hari, saat senja mulai menyelimuti desa, Nenek Aisyah menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang. Sinta berada di sampingnya, menggenggam tangan neneknya dengan erat.
Dengan mata yang berlinang air mata, Sinta menatap senja di ujung mata. Ia merasakan kehadiran neneknya di setiap warna yang memudar di langit. Senja itu, meski penuh kesedihan, juga membawa kekuatan baru bagi Sinta.
Setelah kepergian neneknya, Sinta terus mendatangi bukit kecil itu setiap sore. Ia mengingat setiap cerita, setiap nasihat, dan setiap momen yang ia habiskan bersama neneknya. Senja menjadi penghubung antara masa lalu dan masa depan, mengajarkannya untuk menghargai setiap detik yang ia miliki.
Senja di ujung mata Sinta tidak lagi hanya tentang keindahan alam, tetapi juga tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Ia menyadari bahwa seperti senja, hidup adalah rangkaian momen yang harus dihargai dan diingat. Dan meskipun segala sesuatu yang indah harus berakhir, selalu ada harapan untuk esok hari yang baru.
Dengan semangat baru, Sinta bertekad untuk menjalani hidupnya dengan penuh makna, seperti yang neneknya ajarkan. Senja di ujung mata kini menjadi simbol kekuatan dan kebijaksanaan, mengingatkan Sinta bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru.

Komentar
Posting Komentar