Langsung ke konten utama

Cahaya Ramadhan di Rumah Sederhana



"Cahaya Ramadhan Di Rumah Sederhana"


By: Jonathan Alif Rizkyano

Malam itu, bulan sabit menggantung di langit, bersinar lembut di antara gemerlap bintang. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang bocah bernama Ilham duduk di teras, menatap langit dengan mata berbinar. Besok adalah awal Ramadhan, bulan yang paling ia nantikan setiap tahun.

"Bu, nanti sahurnya kita makan apa?" tanya Ilham sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

Ibunya, Bu Siti, tersenyum lembut. "Kita makan apa saja yang ada, Nak. Yang penting niatnya."

Ilham mengangguk. Sejak kecil, ia terbiasa dengan kehidupan sederhana. Ayahnya sudah lama tiada, dan ibunya bekerja sebagai penjahit rumahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meski tak berlimpah harta, Ilham selalu diajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan dari apa yang dimiliki, tapi dari rasa syukur dan keikhlasan.

Saat sahur tiba, Ilham bangun dengan penuh semangat. Di meja, hanya ada sepiring nasi dengan telur dadar dan sambal. Sederhana, tapi Ilham menyantapnya dengan penuh syukur.

Ketika adzan Subuh berkumandang, Ilham dan ibunya pergi ke masjid. Di sana, Ilham melihat anak-anak lain datang dengan baju baru dan sarung yang masih harum. Ia menunduk, melihat sarungnya yang mulai lusuh. Tapi Ibunya menepuk pundaknya lembut. "Yang penting, hati kita bersih, Nak," bisiknya.

Hari demi hari Ramadhan mereka jalani dengan penuh keikhlasan. Ilham tetap membantu ibunya menjahit, sambil sesekali bermain dengan teman-temannya. Yang paling ia tunggu adalah waktu berbuka. Meski hanya dengan kolak pisang sederhana buatan ibunya, rasanya begitu nikmat.

Suatu hari, saat menjahit, tangan Bu Siti terluka oleh jarum mesin jahit. Luka itu cukup dalam hingga membuatnya kesulitan bekerja. Ilham yang melihat itu merasa sedih. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pasar dan menawarkan diri membantu seorang pedagang mengangkat barang. Upahnya tak seberapa, tapi cukup untuk membeli sepotong roti manis untuk ibunya.

Ketika ia pulang, ibunya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Ilham, kenapa kamu melakukan ini?"

"Agar Ibu bisa istirahat. Ilham ingin Ramadhan ini tetap bahagia, meski sederhana."

Bu Siti memeluk anaknya erat. "Kamu anak yang luar biasa, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu."

Malam itu, Ilham kembali menatap langit. Ia tersenyum, merasa damai. Ramadhan kali ini mengajarkannya bahwa kebahagiaan tak diukur dari seberapa banyak yang dimiliki, tetapi dari seberapa tulus memberi dan berbagi.

Di dalam rumah kecil itu, dalam kesederhanaan, cahaya Ramadhan bersinar begitu terang.

Ramadhan Kareem! 🌙✨

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Rumah Kita

 "Indonesia Rumah Kita" Karya:  Vicky Auwalinda      Indonesia bukan hanya sebuah nama di peta dunia. Ia adalah denyut nadi yang mengalir dalam tubuh kita, udara yang kita hirup setiap hari, dan tanah yang menjadi tempat berpijak serta beristirahat. Indonesia adalah rumah, tempat kita lahir, tumbuh, belajar, dan bercita-cita. Rumah ini mungkin tidak selalu sempurna. Ada saat-saat ia goyah, diterpa badai perpecahan, bahkan retak oleh ego dan kesalahpahaman. Namun, bukankah rumah sejati adalah tempat di mana kita belajar memperbaiki, bukan meninggalkan? Indonesia adalah rumah yang tidak boleh kita abaikan, karena di sinilah akar dan masa depan kita tertanam.         Di rumah bernama Indonesia, kita menemukan beragam bahasa, budaya, adat, dan agama. Semua itu ibarat perabotan yang berbeda bentuk, warna, dan fungsi, tetapi justru membuat rumah semakin indah dan lengkap. Kita tidak perlu sama untuk bisa bersatu, cukup saling memahami bahwa perbeda...

BERPUISI DENGAN DENDAM

 "BERPUISI DENGAN DENDAM" Karya :Farisna Amalia K Puisi ini bermula pada keheningan malam Saat udara dingin mendekap tubuh lalu terdiam. Hingga, Terbentang sebuah pemikiran mendalam Akan kenangan-kenangan kelam yang di genggam Menyelimuti tubuh dengan tajam, kejam, dan menikam. Mata terpejam tak bergerak Menyempurnakan ribuan potongan kecil di benak Yang terus-menerus mendobrak, bergejolak,  dan memberontak tanpa ampun menyerbu hingga meledak, dan menyeruak. Bibirku kelu untuk mengungkapkan, Hanya perasaan yang mampu untuk mendefinisikan. Ingin ku ulang, Namun, semua hanya angan yang tertahan di pikiran. Sampai pada akhirnya aku disadarkan oleh kenyataan, Semua yang berakhir tak akan pernah terulang, Semua hanya tinggal serpihan yang terkenang, Meninggalkan jejak yang menyesakkan.

Abadi

 Abadi   By : Indy Deciavani Marifatus S Tentang sosok yg tiba tiba datang, menetap, lalu pergi. Aku tidak tau harus memulai cerita ini darimana. Mungkin dari pertama kali kita bertemu ya? kita sebut aja "my first love". Awal perkenalan kita memang singkat. Jujur saja, aku jatuh cinta padamu karna rambutmu yg sangat lucu itu. Entah kenapa setiap kamu berlari, rambut mu bisa seperti "twing - twing" hehe... itulah yg membuat aku tertarik padamu. Aku pikir perasaan ini ngga akan lama, tetapi aku salah.  Semakin hari aku melihatmu, aku semakin jatuh cinta padamu, hingga aku berasumsi bahwa kamu adalah milikku. Tibalah hari dimana pertama kali aku bisa bermain denganmu, hari dimana aku pertama kali merasakan dibonceng sama kamu. Jujur disitu rasanya campur aduk antara senang tetapi juga deg deg an, karna aku belum pernah merasakan hal sekecil ini yg bisa buat aku bahagia, terlebih dari orang yg aku sayang. Dari situ lah kita menjadi semakin dekat, dan tibalah di hari ...