Langsung ke konten utama

Sepotong Senja Dan Semangkuk Maaf

 "Sepotong Senja Dan Semangkuk Maaf"


Karya: A. Rayya Rizal Romli 

Setiap senja, cahaya kekuningan menyelinap lewat jendela kamar, menyapu pigura berdebu yang menggantung di dinding. "Bapak dan Ibuk," bisikku pada foto usang itu. Sebelas tahun sudah suara tawa Bapak tak lagi mengisi rumah, hanya Ibuk yang bertahan di tengah rutinitas kami bertiga: aku, Adikku yang bersepeda ke sekolah pukul tujuh, dan Ibuk yang berjalan kaki ke tokonya yang sederhana. Rumah ini selalu terkunci rapat sejak pagi, sunyi dan dingin, seolah napasnya ikut menguap saat kami pergi. 

Sepulang sekolah, aku sering menyendiri di kamar, menatap lemari kayu usang di sudut. Di sana tersimpan album foto Bapak dan vas bunga plastik peninggalan Bapak. Ibuk kerap duduk di depannya, melipat baju-baju bekas sambil bergumam, "Kalian harus jadi anak kuat. Jangan seperti Ibuk." Kalimat itu seperti kerikil di sepatu: mengganjal, tapi harus diinjak terus. Aku tahu maksudnya: kami harus berjuang. Tapi nada datarnya membuatku sesak. 

Kadang, aku membantu Ibuk berjualan di tokonya yang sempit. Aku bertanya tentang harga barang atau takaran gula untuk pelanggan, dan Ibuk menghela napas panjang. "Kalau kamu begini terus, kapan berkembang? Masa harus Ibuk yang jelasin semuanya? Kamu sudah besar!"Aku menatap lantai, getir. Ingin kuteriakkan: "Ibuk, tinggal jawab sedikit saja apa susahnya? Ini juga bukan tugasku!" Tapi kata-kata itu mengendap di kerongkongan, menjadi duri yang diam-diam menusuk. 

Puncaknya datang di hari hujan. Aku terlibat perkelahian di sekolah. Seorang teman mengejek Adikku yang pendiam, dan amarahku meledak. Guru memanggil Ibuk. Saat aku tiba di toko, wajahnya pucat bagai kertas. "Kau mau jadi apa? Jagoan? Preman pengangguran? Mau susah seperti Ibuk?" Suaranya pecah, "Ibuk menyekolahkan kalian bukan untuk berbuat onar, tapi untuk belajar! Apa gunanya hidup kalau begini?!" 

Darahku mendidih. "Ibuk pikir aku tak tahu? Aku hanya ingin bahagia sekali-kali! Selalu salah di mata Ibuk!" suaraku meledak. Ibuk terdiam. Wajahnya kaku bagai patung kayu tokonya, retak-retak oleh waktu. "Kalau Ibuk tak pernah puas, lebih baik aku pergi!" 

Udara mendadak beku. Ibuk memutar badan, langkahnya tertatih menuju kamar. Pintu terkunci. Sesal menyergap, tapi kata-kata telah menjadi duri yang tertancap di dada. 

Malam itu, di meja belajar, ada semangkuk mi rebus hangat dengan telur mata sapi setengah matang—persis kesukaanku. Di bawahnya, secarik kertas bertuliskan goresan pensil tipis: "Maaf, Ibuk tak pandai bicara." Air mataku menetes, membasahi kertas itu. Baru kusadari: hardikan Ibuk adalah teriakan bisu dari perempuan yang terlalu lama ditinggal mati suaminya, terlalu lelah oleh derap waktu yang tak pernah mengasihani. 

Kini, setiap senja tiba, kami belajar diam-diam. Ibuk mulai mengurangi hela napasnya saat aku bertanya tentang takaran gula. Aku tak lagi membantah saat dinasihati, meski kadang masih ingin menjerit. Adikku tetap bersepeda pulang-pergi, jarang bicara, tapi matanya sesekali menyipit saat melihatku dan Ibuk saling bertukar senyum kaku.

Di kamar, aroma mi rebus masih melekat pada debu foto Bapak. Senja tetap datang dan pergi, tak pernah menunggu kami merapikan kisah yang berantakan. Tapi di balik mangkuk mi yang beruap, di balik pintu kamar yang kerap terkunci, ada bahasa yang mulai kami pahami: cinta Ibuk tak berbunga-bunga. Ia diam, menggumpal di sudut-sudut sunyi, menunggu kami berani memungutnya. Seperti senja yang selalu pergi, tapi meninggalkan cahaya cukup untuk melihat jejak-jejak rindu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Rumah Kita

 "Indonesia Rumah Kita" Karya:  Vicky Auwalinda      Indonesia bukan hanya sebuah nama di peta dunia. Ia adalah denyut nadi yang mengalir dalam tubuh kita, udara yang kita hirup setiap hari, dan tanah yang menjadi tempat berpijak serta beristirahat. Indonesia adalah rumah, tempat kita lahir, tumbuh, belajar, dan bercita-cita. Rumah ini mungkin tidak selalu sempurna. Ada saat-saat ia goyah, diterpa badai perpecahan, bahkan retak oleh ego dan kesalahpahaman. Namun, bukankah rumah sejati adalah tempat di mana kita belajar memperbaiki, bukan meninggalkan? Indonesia adalah rumah yang tidak boleh kita abaikan, karena di sinilah akar dan masa depan kita tertanam.         Di rumah bernama Indonesia, kita menemukan beragam bahasa, budaya, adat, dan agama. Semua itu ibarat perabotan yang berbeda bentuk, warna, dan fungsi, tetapi justru membuat rumah semakin indah dan lengkap. Kita tidak perlu sama untuk bisa bersatu, cukup saling memahami bahwa perbeda...

BERPUISI DENGAN DENDAM

 "BERPUISI DENGAN DENDAM" Karya :Farisna Amalia K Puisi ini bermula pada keheningan malam Saat udara dingin mendekap tubuh lalu terdiam. Hingga, Terbentang sebuah pemikiran mendalam Akan kenangan-kenangan kelam yang di genggam Menyelimuti tubuh dengan tajam, kejam, dan menikam. Mata terpejam tak bergerak Menyempurnakan ribuan potongan kecil di benak Yang terus-menerus mendobrak, bergejolak,  dan memberontak tanpa ampun menyerbu hingga meledak, dan menyeruak. Bibirku kelu untuk mengungkapkan, Hanya perasaan yang mampu untuk mendefinisikan. Ingin ku ulang, Namun, semua hanya angan yang tertahan di pikiran. Sampai pada akhirnya aku disadarkan oleh kenyataan, Semua yang berakhir tak akan pernah terulang, Semua hanya tinggal serpihan yang terkenang, Meninggalkan jejak yang menyesakkan.

Abadi

 Abadi   By : Indy Deciavani Marifatus S Tentang sosok yg tiba tiba datang, menetap, lalu pergi. Aku tidak tau harus memulai cerita ini darimana. Mungkin dari pertama kali kita bertemu ya? kita sebut aja "my first love". Awal perkenalan kita memang singkat. Jujur saja, aku jatuh cinta padamu karna rambutmu yg sangat lucu itu. Entah kenapa setiap kamu berlari, rambut mu bisa seperti "twing - twing" hehe... itulah yg membuat aku tertarik padamu. Aku pikir perasaan ini ngga akan lama, tetapi aku salah.  Semakin hari aku melihatmu, aku semakin jatuh cinta padamu, hingga aku berasumsi bahwa kamu adalah milikku. Tibalah hari dimana pertama kali aku bisa bermain denganmu, hari dimana aku pertama kali merasakan dibonceng sama kamu. Jujur disitu rasanya campur aduk antara senang tetapi juga deg deg an, karna aku belum pernah merasakan hal sekecil ini yg bisa buat aku bahagia, terlebih dari orang yg aku sayang. Dari situ lah kita menjadi semakin dekat, dan tibalah di hari ...