Langsung ke konten utama

Antara Suara Diri dan Suara Mereka

 "Antara Suara Diri dan Suara Mereka"

Karya: Dhelista Ria Lestari

        Aku bukan tipe orang yang suka ribut di grup. Aku juga bukan orang yang selalu punya pendapat beda sendiri. Aku tipe yang diam saat diskusi, gampang setuju, dan bilang “oke” meski dalam hati ada keraguan. Dan orang-orang suka itu. Mereka bilang aku fleksibel, enak diajak ke mana aja, gak ribet. Awalnya aku merasa itu pujian. Tapi lama-lama aku sadar, aku gak pernah benar-benar jujur tentang apa yang aku inginkan.


        Hal kecil seperti memilih tempat nongkrong aja, aku selalu ikut pilihan mereka. Mereka suka kopi, aku ikut—padahal perutku gak kuat kafein. Mereka suka musik keras, aku ikut—padahal kepalaku nyut-nyutan. Mereka suka nongkrong sampai malam, aku ikut—padahal aku lebih nyaman sendiri di rumah. Tapi aku terus ngikut, karena aku takut. Takut gak dianggap. Takut dibilang beda sendiri. Takut dicap gak asik.

        Sampai akhirnya, suatu hari aku ikut mereka bolos kelas tambahan. Katanya sih “sekali-kali, seru-seruan doang.” Kami duduk di taman kota, ngobrolin hal-hal receh, tertawa keras-keras, seolah hidup ini ringan. Salah satu dari mereka upload story. Gak lama, wali kelas nelpon. Kami semua diminta datang ke ruang guru sore itu. Aku kena omelan, nilai tugas praktikum dipotong, tapi yang paling menghantam justru satu pertanyaan sederhana dari guru itu: “Kamu ikut karena mau, atau cuma ngikut?”

Aku gak bisa jawab. Karena aku tahu jawabannya, tapi terlalu malu untuk mengakuinya.

       Pulang sekolah hari itu aku masuk kamar, matiin lampu, dan cuma tiduran. Di kepalaku ramai suara—suara orang lain, suara rasa bersalah, suara kecewa pada diri sendiri. Dan di tengah semua suara itu, aku sadar: selama ini aku gak pernah benar-benar memilih untuk diriku sendiri. Aku terlalu sibuk jadi orang yang bisa diterima, sampai lupa jadi orang yang bisa aku hargai.

       Besoknya, saat mereka ngajak nongkrong lagi, aku cuma senyum dan bilang, “Kayaknya aku gak ikut dulu, ya.” Mereka kaget, tapi gak maksa. Aku duduk sendiri di kantin, makan pelan-pelan sambil dengerin lagu yang aku suka. Sendiri. Tapi damai. Rasanya ringan.

        Hari itu aku sadar, jadi diri sendiri gak harus selalu keras kepala. Kadang, cukup dengan berani bilang “tidak” pada hal yang bukan milikmu. Dan ternyata... suara diri sendiri juga pantas untuk didengarkan. Meski kecil, meski pelan, tapi itu satu-satunya suara yang benar-benar tahu apa yang kamu butuhkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Rumah Kita

 "Indonesia Rumah Kita" Karya:  Vicky Auwalinda      Indonesia bukan hanya sebuah nama di peta dunia. Ia adalah denyut nadi yang mengalir dalam tubuh kita, udara yang kita hirup setiap hari, dan tanah yang menjadi tempat berpijak serta beristirahat. Indonesia adalah rumah, tempat kita lahir, tumbuh, belajar, dan bercita-cita. Rumah ini mungkin tidak selalu sempurna. Ada saat-saat ia goyah, diterpa badai perpecahan, bahkan retak oleh ego dan kesalahpahaman. Namun, bukankah rumah sejati adalah tempat di mana kita belajar memperbaiki, bukan meninggalkan? Indonesia adalah rumah yang tidak boleh kita abaikan, karena di sinilah akar dan masa depan kita tertanam.         Di rumah bernama Indonesia, kita menemukan beragam bahasa, budaya, adat, dan agama. Semua itu ibarat perabotan yang berbeda bentuk, warna, dan fungsi, tetapi justru membuat rumah semakin indah dan lengkap. Kita tidak perlu sama untuk bisa bersatu, cukup saling memahami bahwa perbeda...

BERPUISI DENGAN DENDAM

 "BERPUISI DENGAN DENDAM" Karya :Farisna Amalia K Puisi ini bermula pada keheningan malam Saat udara dingin mendekap tubuh lalu terdiam. Hingga, Terbentang sebuah pemikiran mendalam Akan kenangan-kenangan kelam yang di genggam Menyelimuti tubuh dengan tajam, kejam, dan menikam. Mata terpejam tak bergerak Menyempurnakan ribuan potongan kecil di benak Yang terus-menerus mendobrak, bergejolak,  dan memberontak tanpa ampun menyerbu hingga meledak, dan menyeruak. Bibirku kelu untuk mengungkapkan, Hanya perasaan yang mampu untuk mendefinisikan. Ingin ku ulang, Namun, semua hanya angan yang tertahan di pikiran. Sampai pada akhirnya aku disadarkan oleh kenyataan, Semua yang berakhir tak akan pernah terulang, Semua hanya tinggal serpihan yang terkenang, Meninggalkan jejak yang menyesakkan.

Abadi

 Abadi   By : Indy Deciavani Marifatus S Tentang sosok yg tiba tiba datang, menetap, lalu pergi. Aku tidak tau harus memulai cerita ini darimana. Mungkin dari pertama kali kita bertemu ya? kita sebut aja "my first love". Awal perkenalan kita memang singkat. Jujur saja, aku jatuh cinta padamu karna rambutmu yg sangat lucu itu. Entah kenapa setiap kamu berlari, rambut mu bisa seperti "twing - twing" hehe... itulah yg membuat aku tertarik padamu. Aku pikir perasaan ini ngga akan lama, tetapi aku salah.  Semakin hari aku melihatmu, aku semakin jatuh cinta padamu, hingga aku berasumsi bahwa kamu adalah milikku. Tibalah hari dimana pertama kali aku bisa bermain denganmu, hari dimana aku pertama kali merasakan dibonceng sama kamu. Jujur disitu rasanya campur aduk antara senang tetapi juga deg deg an, karna aku belum pernah merasakan hal sekecil ini yg bisa buat aku bahagia, terlebih dari orang yg aku sayang. Dari situ lah kita menjadi semakin dekat, dan tibalah di hari ...